Kami mendaki gunung bukan untuk foya-foya akan dunia
Kami mendaki gunung bukan sebagai ajang kegagahan
Kami mendaki gunung bukan lari dari masalah
Kami mendaki gunung bukan untuk mengantarkan nyawa dengan menantang nyali
Akan tetapi..
Di atas gunung, kami sandarkan jiwa-jiwa kami yang resah melihat masih banyaknya ibu yang tega membuang bayinya di tempat sampah
Di pelukan rimba, kami rebahkan impian-impian kami yang terjagal kemewahan dunia bawah
Di sekeliling angin lembah, kami renungkan nasib saudara-saudara kami yang menjadi korban sumpah serapah para oknum yang mengaku khalifah yang pongah
Di belantara hutan, kami rela tangguhkan zona nyaman kami karna miris menyaksikan keadilan yang dibeli dengan selembar uang
Di tengah kabut dingin, kami kabarkan keadaan negeri kami yang dipenuhi penguasa yang hoby korupsi, menebar sensasi, cari isteri lagi, bahkan mengorbankan alam negeri demi sanak famili..
Kami tegaskan, tujuan kami mendaki gunung bukanlah mencari mati, melainkan sebagai tempat kami menempa diri, belajar tentang arti kehidupan serta bersyukur atas karunia alam ciptaan Tuhan..ALLAH SWT
Hampir setiap bulan terdengar kabar pendaki hilang maupun meningggal di gunung.
Ironis..
Selasa, 17 September 2013
Senin, 16 September 2013
Surga Edelweis..Lembah Mandala Wangi
Dimalam yang habis diguyur rintik hujan ini..
Kembali anganku melayang menuju alam Mandala Wangi.
Lembah dimana sering kali GIE menghabiskan waktunya dengan menikmati keindahan alam.
Hamparan Edelweis dan udara sejuk seakan menghapus kegamangan hidup.
Hasratku untuk bercengkerama dengannya (Mandala Wangi) semakin menggebu..
Inginku satu, menjelajah kesana melepaskan penat diri diantara Anaphalis Javanica..
Semoga saja..
Lembah Mandala Wangi, Gn. Gede Pangrango
Kembali anganku melayang menuju alam Mandala Wangi.
Lembah dimana sering kali GIE menghabiskan waktunya dengan menikmati keindahan alam.
Hamparan Edelweis dan udara sejuk seakan menghapus kegamangan hidup.
Hasratku untuk bercengkerama dengannya (Mandala Wangi) semakin menggebu..
Inginku satu, menjelajah kesana melepaskan penat diri diantara Anaphalis Javanica..
Semoga saja..
Lembah Mandala Wangi, Gn. Gede Pangrango
Entahlah..
Entahlah..
Aku
sudah berusaha memperbaiki
Apa
yang rusak dan pecah berkeping
Ku
tetap punguti satu persatu
Kucoba
menyusunnya kembali
Tapi
ini yang ku kira
Tak
kan seindah semula
Gubuk Derita, 14 Juni 2013
Waktu Senja
Di
senja ini..
Kembali
anganku melayang menuju alam Mandala Wangi
Lembah
dimana sering kali GIE menghabiskan waktu dengan keindahan alamnya
Hamparan
Edelweis dan udara sejuk seakan menghapus kegamangan hidup
Hasratku
untuk bercengkerama dengannya (Mandala Wangi) semakin menggebu
Inginku
satu, menjelajah kesana
Sambil
menorehkan tinta untuk sajak kehidupan
Diantara
hamparan Anaphalis Javanica
Semoga
saja..
Gubuk Derita,..-..-.2013
Negeri Tanpa Konsepsi
Bukan
soal empat ribu lima ratus atau enam ribu lima ratus
Bukan
tentang cadangan minyak maupun ketersediaannya
Ya..Ini
mengenai pembodohan dan politisasi
Rakyat
yang sekarat pejabat yang rakus
Orang
kecil susah payah penguasa yang foya-foya
Ya..Itulah
hasil lobi-lobi politikus
Entah
mau jadi apa negeri ini
Berjalan
tanpa tujuan
Bergerak
tanpa irama
Lenyapnya
sosok sosok negrawan
Muncullah
gurita gurita
Kedaulatan
rakyat hanya berlaku pada masa PEMILU
Politikus
dan anteknya mengumbar visi misi tanpa konsepsi
Bangsri, 22 Juni 2013
Negeri Darurat
Negeri
yang unik
Para
penegak hukum saling selidik
Mencari
oknum-oknum munafik
Negeri
yang hebat
Jenderal-jenderal
gendut adu nyali dengan advokat
Menjerat,
menggeledah kantor aparat
Negeri
yang indah
Berdusta
pada sejarah
Pelanggaran
HAM dianggap lumrah
Hukum
pun tak ubahnya hanya seonggok sampah
Negeri
yang makmur
Nasionalisme
dan persaudaraan semakin luntur dan hancur
Akal
sehat memblawur, kebenaran pun terkubur
Negara
yang aman
Senjata
aparat keamanan tak lagi melindungi rakyat
Justru
membabat, menyikat hak hidup masyarakat
Dengan
latar belakang konflik kepentingan penuh syarat
Negeriku..Negeri
Darurat
(Bangsri, 06-08-2012)
Lembah & Gunung
Aku
mulai frustasi dengan keadaan kota ini
Tertikam,
terhunus, terhujam berbagai persoalan
Aku
ingin pergi..
Ya..pergi
ke lembah dan gunung
Sekedar
berbagi kisah dengan kabut dingin
Bercerita
diantara terjalnya jalan berbatu
Aku
ingin memberi kabar
Hey..lembah,
gunung, tebing, semak dan lain lain
Kalianlah
temanku
Teman
SEJATIKU..
Semarang, 15 Juni 2013
HARMONISME HUBUNGAN SIPIL MILITER PASCA PENGHAPUSAN DWIFUNGSI ABRI YANG MENENTUKAN KUALITAS DEMOKRASI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sejak pemerintahan Soeharto berakhir di tahun 1998,
turut berubah pula paradigma hubungan sipil-militer di negeri ini. Negeri ini
sebelumnya amat didominasi oleh militer yang menamakan diri sebagai Orde Baru.
Orde Baru sendiri telah menetapkan bahwa pondasi negara adalah Pancasila, dan konstitusinya
UUD 1945. Soeharto sebagai presiden mendefinisikan Orde Baru adalah sebagai
koreksi total terhadap Orde Lama, yang dipandang korup dengan kekuasaannya yang
bersifat absolut, bukan oleh lembaga perwakilan rakyat (DPR dan MPR) melainkan
digenggam oleh sang Presiden itu sendiri. Tapi meskipun dimaksudkan sebagai
koreksi rejim sebelumnya, ternyata dalam kenyataannya, tidak juga berbeda jauh
dengan Orde Lama. Contohnya, Presiden melakukan dominasi terhadap lembaga
legislatif melalui suatu sistem penunjukan langsung, dimana seluruh kandidat
harus melalui serangkaian ujian dengan apa yang disebut sebagai "screening"
sebelum dinominasikan. Eksekutif juga sering diprotes karena terlalu absolut,
tidak ada kebebasan mengemukakan pendapat dan berkumpul. Selain itu masyarakat
juga dibatasi gerak-geriknya, orang-orang militer menduduki posisi-posisi
penting dalam pemerintahan maupun dalam birokrasi. Gaya pemerintahan pada masa
itu benar benar kekuasaan mutlak berada di tangan Presiden. Media yang berani
menyiarkan tulisan yang tajam harus siap-siap dibredel. Yang suka usil
siap-siap masuk bui. Yang suka bikin onar dan kriminal, selesai dengan petrus
(penembak misterius).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kilas Balik Konsep Dwifungsi
Peran militer diwujudkan dalam
konsep Dwifungsi yang muncul pada periode awal kemerdekaan ini adalah sebagai
akibat dari peran sosial politik oleh militer dan kristalisasi ideologi yang
menopang tugas tersebut. Peran sospol militer diperlukan karena banyaknya
kekosongan jabatan yang ditinggal pergi Belanda, antara lain pada
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi sebagai akibat Belanda
menolak negosiasi soal Irian Barat.
Ide Dwifungsi memang berasal dari
A.H Nasution pada saat dia menjabat sebagai Menpangad, dimana dia menyatakan
bahwa TNI itu tidak sama seperti tentara di negara Barat, di mana posisinya
hanya sebagai alat pemerintahan (di bawah kendali sipil), namun juga tidak
seperti tentara di Amerika Latin yang memonopoli kekuasaan, melainkan TNI
adalah tentara yang berjuang bahu membahu dengan rakyat. Oleh karena tampaknya
ide A.H Nasution ini tidak Barat dan tidak Selatan maka dijuluki konsep
"Jalan Tengah".
Kurun waktu itu baik Soekarno maupun
A.H Nasution kecewa dengan Demokrasi Parlementer. Pada saat militer sukses
menumpas pemberontakan di beberapa wilayah tanah air, Bung Karno merasa
mendapat angin untuk mengimplementasikan Demokrasi Terpimpin, sekaligus
mempraktekkan ide "Jalan Tengah" A.H Nasution. Jadi, dari sini memang
tampak bahwa akar dari Dwifungsi itu berawal pada masa Demokrasi Terpimpin.
Namun di masa Orde Baru, Dwifungsi ini mendapatkan legalitasnya.
Hal inilah yang dianggap sebagai
pangkal dari berbagai permasalahan di kemudian hari. Banyak ahli yang
berpandangan bahwa Dwifungsi dapat dibenarkan bagi para pejuang kemerdekaan,
atau setidaknya pada awal perjuangan dulu. Namun, klaim sejarah ini menjadi
kabur manakala dihadapkan kepada generasi pasca 1945. Memisahkan hal ini memang
tidak mudah, peran ganda ini memasuki wilayah abu-abu antara
"pertahanan" dan "keamanan" yang juga berhubungan dengan
Pemilu dan partai politik, legislasi dan hubungan antara masyarakat dan
militer. Apalagi UU No.20/1982 menyatakan ABRI itu sebagai
"dinamisator" dan "stabilisator", yang mana bersama-sama
dengan unsur masyarakat lainnya mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk
mewujudkan kemakmukran bagi seluruh rakyat Indonesia. Di masa kini, akan tampak
dalam praktek semisal TNI membantu petani tanam padi, karena masih ada petani
yang tidak becus tanam padi, sehingga TNI merasa "terpanggil" untuk
membantunya.
B.
Episode
Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia
Meski tidak dapat disangkal lagi
negeri ini sudah memasuki babak baru dalam kehidupan berdemokrasi di mana
hubungan sipil-militer sudah menempatkan militer dalam kontrol sipil. Namun, kenyataan
yang masih sering terjadi adalah bahwa institusi sipil, atau lebih tepat di
sini dikatakan sebagai pemimpin sipil masih ingin mencari partner militer
manakala sipil dipandang tidak mempunyai keahlian
dalam masalah
kemiliteran, sehingga dicarilah tokoh militer untuk mendampinginya.
Kontrol sipil terhadap militer memang lazimnya terjadi di negara Demokrasi
Liberal, meski hal ini juga pernah terjadi di negara-negara yang berkultur
komunis (Huntington, 1967). Namun dominasi militer ini tidak serta merta bisa
dilabelkan apabila suatu negara dipimpin oleh seorang militer, tetapi lebih
kepada hubungan antara sipil dan militer, di mana militer yang dimaksud di sini
adalah militer secara institusinya. Maksudnya adalah ketika pimpinan politik
atau pemerintahan terdiri dari para perwira militer dan pemerintahan mempunyai
ketergantungan politis kepada angkatan bersenjata secara institusi, inilah yang
dikatakan sebagai "military-dominant". Namun, apabila
kepemimpinan dalam pemerintahan terdiri dari para pensiunan atau sudah tidak
ada sangkut pautnya lagi dengan militer sebagai intitusi, dan kemampuan
kepemimpinannya sudah tidak tergantung kepada militer, maka dapat dikatakan
bahwa militer berada dalam posisi di bawah kekuasaan politik, sehingga bukan
lagi disebut "military-dominant".
Sejak 1998 paradigma hubungan
sipil-militer sudah jelas berubah. Apabila mengacu kepada teori Huntington
tentang konsep hubungan sipil-militer yang diistilahkan sebagai "objective
civilian control", maka di dalam negara demokrasi yang sudah maju dan
mapan (dan ini ditafsirkan sebagai Demokrasi Liberal / Barat), hubungan militer
dan sipil digambarkan sebagai berikut: tercapainya tingkat profesionalisme
militer yang handal namun juga mengetahui batasan kemampuan profesional yang
dimilikinya, tunduknya militer pada pimpinan sipil sebagai pembuat keputusan
khususnya dalam kebijakan luar negeri dan militer (pertahanan), mengakui dan
menerima kepemimpinan (sipil) dalam bidang kemampuan profesionalnya, namun
dalam hal ini militer juga mempunyai otonomi, oleh karenanya, campur tangan
militer menjadi minimal dalam politik namun juga militer tidak dicampuri oleh
politik (Huntington, 1993 : 17).
Gambaran di atas adalah lazimnya negara
Demokrasi Liberal. Huntington juga menyoroti organisasi TNI (terutama TNI-AD)
yang mana struktur organisasi dalam level Kodam paralel dengan organisasi
Pemerintah Daerah. Dalam masa Orde Baru, militer banyak yang juga masuk Golkar,
dan (bahkan) petinggi TNI-AD ikut kampanye untuk Golkar pada Pemilu 1977 (KPU,
Laporan Penyelengaraan Pemilu tahun 1999, p.276). Struktur organisasinya
tergambar paralel dengan Pemerintah Daerah, seperti hubungan Lurah-Babinsa,
Camat-Danramil, Bupati-Dandim, dan Gubernur-Danrem. Tugas dalam level ini
dipandang amat jauh dari profesionalisme militer. Militer bertugas tidak lagi
mendekati bidang profesionalnya (pertahanan) tetapi cenderung menjauh dari misi
profesionalnya.
Oleh karena itulah, mengapa pada era
awal reformasi bergulir, tuntutan terhadap reformasi dalam tubuh TNI amat
gencar disuarakan oleh banyak pihak khususnya mereka yang belajar &
mengerti tentang teori hubungan sipil-militer, terutama dalam kaitannya dengan
profesionalisme militer menurut Huntington ini. TNI merespon hal ini dengan
melakukan reformasi internal, hasilnya antara lain pemisahan TNI dan Polri, dan
implikasinya, Polri mengurusi bidang keamanan sementara TNI fokus pada bidang
pertahanan negara. Tetapi hal ini tidak serta merta menghilangkan peran sosial-politik.
TNI masih memerlukan waktu untuk melanjutkan reformasi internal guna
mengembalikan kepercayaan masyarakat setelah sekian lama hidup dalam alam
represi.
Tulisan Huntington memang memberi
penekanan pada kendali sipil atas militer. Banyak analis yang menginginkan TNI
melakukan reformasi internal, tanpa lagi mengingat romantisme masa lalu di mana
TNI memang amat berjasa dalam menjaga tetap tegaknya NKRI. Namun, banyak yang
percaya bahwa TNI akan lebih positif dan mendukung pemimpin sipil manakala
dipandang punya kemampuan dalam mengendalikan situasi, terutama dalam menjaga
integritas NKRI.
C.
Reformasi
di Tubuh TNI
Sejatinya, dalam sistem monarki
tradisional, militer hanyalah "penjaga malam" yang dalam sistem pemerintahan modern disebut
sebagai fungsi pertahanan keamanan (hankam). Fungsi
inilah yang dibedakan secara tajam dengan fungsi sipil yang mencakup seluruh aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara kecuali hankam. Dalam negara-negara maju seperti di
Amerika Utara dan Eropa Barat, pemetaan kedua fungsi (militer dan sipil) ini sudah bisa berjalan
seimbang. Masing-masing bisa berperan sesuai
dengan fungsinya, tidak tumpang-tindih dan intervensi. Kalaupun ada pengaruh, maka sipil mempengaruhi militer, bukan sebaliknya. Karena yang
berjalan adalah "supremasi sipil" maka kebijakan-kebijakan politik yang ditempuh dan dijalankan
pemerintahan sipil berpengaruh
pada langkah-langkah yang harus ditempuh militer. Yang terjadi di Indonesia adalah kebalikan dari itu: sipil
berada di bawah supremasi
militer. Sepanjang rezim Orde Baru, kondisi semacam itu berjalan mulus walaupun bukan berarti tanpa
kritik. Kritik-kritik yang dilontarkan ada,
tetapi selalu muncul di bawah permukaan. Karena kalau muncul di permukaan akan segera dituduh
subversif: melawan pemerintahan
yang sah. Informasi-informasi yang berkaitan dengan kritik-kritik terhadap peran militer
pun diberangus tanpa ampun.
Proses reformasi peran TNI bukan
semata karena tumbangnya Soeharto, tetapi merupakan keniscayaan sejarah. Setidaknya ada empat alasan
yang melatarbelakanginya. Pertama, peran sosial politik TNI
yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, campur tangan pihak TNI yang
terlalu jauh di berbagai sektor kehidupan
telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi di tengah
masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu
jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap
lembaga-lembaga hukum dan peradilan.
Akibat keterlibatan "oknum" TNI/ABRI, banyak kasus hukum yang masih misterius hingga sekarang,
seperti pada kasus tewasnya Marsinah dan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Keempat, keterlibatan TNI dalam
bidang ekonomi dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini. Di dalam doktrin pertahanan negara
dan perjuangan militer sendiri, dikenal dua konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer
dalam proses demokratisasi, yakni konsepsi
tentang perang dan konsepsi tentang musuh. Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep "perang
rakyat semesta" dimana
atas perintah pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang. Implikasi dari pelaksanaan doktrin
ini adalah: Pertama, militer bisa menentukan
arah kebijakan politik yang bukan saja harus dipatuhi oleh kalangan prajurit militer, tetapi juga
oleh seluruh komponen masyarakat sipil. Kedua, karena mencakup semua
komponen bangsa maka otomatis menutup peluang bagi pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan
politik yang memberikan kebebasan pada rakyat
untuk menyalurkan aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena yang ada dan berhak disalurkan
hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini
sangat erat kaitannya dengan konsepsi militer mengenai "musuh".
Dengan begitu akan dengan mudah
membungkam setiap aspirasi yang bernada
kritis baik terhadap pemerintah maupun pimpinan militer. Apalagi dalam konteks Indonesia, antara
kepala pemerintahan dan panglima tertinggi militer berada dalam satu lembaga kepresidenan. Jadi,
sempurnalah otoritas dan
kewenangan menentukan "lawan" dan "musuh" itu dalam satu
tangan: presiden.
Dalam proses demokratisasi bisa
dibangun dengan tiga cara. Pertama,
penghapusan Dwifungsi TNI dalam bentuk: (1) penarikan unsur militer dari jajaran birokrasi; (2)
penghapusan fungsi centeng dalam sektor ekonomi; (3) reformasi doktrin militer seperti Sapta Marga dan Sumpah
Prajurit. Kedua, mereformasi doktrin TNI.
Loyalitas TNI sejatinya bukanlah kepada pemerintah, tetapi kepada negara dan bangsa secara
keseluruhan. Dan, ketiga, perlu adanya pembaruan
kurikulum pendidikan militer agar sesuai dengan paradigma sistem pertahanan sekarang yang tidak lagi
berorientasi pada pertahanan secara fisik. Sejak
berakhirnya perang dingin, paradigm pertahanan negara beralih dari "mempertahankan diri
dari kekuatan lawan" menjadi
"mempertahankan diri agar tidak terjerumus pada tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM)."
D.
Militer
Dan Demokrasi
Indonesia sedang berada dalam masa
transisi menuju pada sebuah nuansa demokrasi seutuhnya. Hal ini dikarenakan
demokrasi Indonesia masih sangat muda dan baru saja melewati masa
otoritarianisme sehingga menuntut penataan ulang hubungan sipil-militer melalui
legislasi. Wacana mengenai hubungan sipil-militer ini cenderung
mempertentangkan institusi militer dengan demokrasi. Tak jarang muncul
pemahaman yang menyatakan bahwa militer adalah antidemokrasi. Penilaian ini
berdasarkan struktur TNI yang memang dibangun atas disiplin atasan–bawahan,
mekanisme geraknya menggunakan rantai komando yang ketat, strateginya
menggunakan pendekatan keamanan (security approach), dan fungsinya
identik dengan monopoli penggunaan kekerasan (monopoly of violence).
Kembali pada tujuan utama untuk
menata ulang hubungan sipil-militer, sebelumnya diperlukan penjelasan apa yang
dimaksudkan dengan sipil dan militer dalam pengertian hubungan sipil-militer.
Perkataan sipil merupakan satu pengertian yang menyangkut dengan masyarakat,
atau warga negara pada umumnya. Sedangkan militer merupakan pengertian yang
bersangkutan dengan kekuatan bersenjata. Secara kongkrit perkataan sipil di
Indonesia adalah seluruh masyarakat, sedangkan perkataan militer berarti
Tentara Nasional Indonesia (TNI), yaitu organisasi yang merupakan kekuatan
bersenjata dan yang harus menjaga kedaulatan negara Republik Indonesia. Karena
sipil berarti masyarakat, maka sebenarnya militer pun bagian dari masyarakat.
Hubungan sipil dan militer merupakan
satu hal yang sangat penting bagi satu bangsa. Ini dikarenakan memiliki
pengaruh besar terhadap ketahanan nasional bangsa tersebut. Ketahanan nasional
sendiri adalah perihal tahan (kuat), keteguhan hati, ketabahan dalam rangka
kesadaran. Atau lebih jelasnya lagi dapat disimpulkan bahwa ketahanan nasional
memiliki pengertian perihal tahan (kuat), keteguhan hati, ketabahan dari
kesatuan dalam memperjuangkan kepentingan nasional suatu bangsa yang telah
menegara.
Karakteristik kepemimpinan pada
umumnya harus mempunyai kewibawaan dan kelebihan untuk mempengaruhi serta
mengajak orang lain untuk berjuang bersama, bekerja, dan berusaha mencapai satu
tujuan bersama. Setiap pemimpin Indonesia harus memiliki dan mencerminkan
kepemimpinan Pancasila. Di bawah ini merupakan beberapa sifat kepemimpinan yang
dimiliki orang-orang dari kalangan militer, yaitu:
1. Otoriter lewat komando dan asas
efisiensi.
2. Memiliki stamina fisik dan mental
yang tinggi/kuat berkat latihan-latihan rutin setiap hari dengan daya reaksi
cepat, hati-hati, cermat dan teliti.
3. Memiliki loyalitas dan integritas
yang tinggi.
4. Selalu bersikap terbuka terhadap
perubahan, kemajuan, ide-ide baru, inovasi dan modernisasi.
Jika memperhatikan lebih teliti
sifat-sifat kepemimpinan yang dimiliki oleh orang-orang dari kalangan militer,
memang ada baiknya jika jabatan kepemimpinan negara Indonesia dipegang oleh
militer. Warga sipil masih belum dapat membedakan antara militer dan
militerisme. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri tidak melarang militer untuk
menjabat sebagai presiden. Wujud sikap militer adalah disiplin yang tinggi,
taat kepada atasan (terutama bangsa dan negara), loyalitas, komitmen, dan
dedikasi.
Keterlibatan militer dalam ranah
politik akan sangat mengganggu ketahanan nasional bangsa kita. Karena militer
yang harusnya bertugas sebagai pertahanan pertama sebuah negara dari segala
ancaman yang datangnya dari luar. Namun dikesampingkan karena terlalu sibuk
dengan urusannya di dunia politik. Asas legalitas akan menunjang berlakunya
kepastian hukum dan kesamaan perlakuan terjadi karena setiap orang yang berada
dalam situasi seperti ditentukan dalam ketentuan UU itu berhak dan berkewajiban
untuk berbuat seperti apa yang ditentukan dalam UU tersebut.
Keadaan lembaga pertahanan negara
kita ini sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat sebagai bukti dari
keterlibatan militer dalam dunia politik. Militer kurang mendapat perhatian
dari pemerintah dalam pengadaan fasilitas dan inilah salah satu penyebab
mengapa militer harus terjun ke ranah-ranah yang lain. Jika saja pemerintah
mengadakan fasilitas yang lengkap untuk militer maka militer bisa fokus dengan
tugas utamanya dan tidak akan mengganggu jalannya demokrasi.
Dalam perkembangannya militer di
Indonesia mengalami banyak perubahan, mulai dari peningkatan sumber daya
materil, hingga pada reformasi dalam tubuh militer. Ini merupakan akibat dari
bergulirnya arus demokrasi yang dikawal oleh tuntutan sipil yang menganggap
bahwa militer telah sepantasnya melakukan perubahan guna meningkatkan
profesionalismenya, yaitu sebagai pertahanan pertama sebuah negara dari segala
ancaman yang datangnya dari luar. Hal ini membuktikan adanya kedinamisan
militer sebagai sebuah lembaga yang menjunjung tinggi proses yang berusaha
dilakukan sama halnya dengan masyarakat sipil yang senantiasa melakukan
perubahan. Jika memahaminya lebih lanjut sebenarnya arah pembicaraan yang
menarik adalah bagaimana militer membangun hubungannya dengan masyarakat sipil,
ditengah-tengah krisis kepercayaan masyarakat sipil pasca pemerintahan orde
baru yang sangat otoriter. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pada masa
orde baru, pemerintahan Indonesia didominasi oleh militer dan model pengelolaan
pemerintahan yang berbasis pada pola organisasi militer. Hal ini dapat dilihat
dari adanya pola penyeragaman yang dilakukan serta menjadikan stabilitas
nasional diatas segala-galanya untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan.
Dengan melihat fenomena serta dampak
yang ditimbulkan dari kekuatan militer, maka hadir sebagian anggapan yang menganggap
keterlibatan militer dalam dunia politik adalah merupakan kesalahan besar. Pada
masa orde baru, dominasi militer ini sangat terlihat, dimana peran penting
militir bukan hanya pada praktek politik saja tapi pada pembuatan kebijakan
publik. Hal ini juga akan berdampak pada degradasi fungsi militer sebagai
lapisan pertama negara dari ancaman dari luar, karena secara langsung akan
menjadikan militer kurang profesional dalam menjalankan fungsi pertahanan dan
keamanan sebuah negara. Namun tidak sedikit pula yang menganggap bahwa militer
perlu masuk keranah politik, karena tidak dapat dipungkiri bahwa merupakan
sesuatu yang harfiah jika manusia berhasrat untuk berkuasa atas yang lain. Dan
jika militer terlarang untuk dapat mengakses dunia polotik, maka yang hadir
adalah akan menciderai proses demokrasi yang sedang dilakukan. Namun yang
menjadi masalah disini adalah bagaiman agar milier sebagi sebuah variabel
bagian dari sebuah sistem tetap dapat menjaga peran dan fungsinya dalam sebuah
negara, agar tercipta sebuah keseimbangan serta keharmonisan hubungan dengan
masyarakat sipil.
Sebenarnya wacana hubungan sipil
militer bukanlah sesuatu yang baru mengingat bahwa umur militer di Indonesia
yang telah lama, artinya telah ada pengkajian awal yang telah hadir pada
masa-masa lampau. Dan keputusan militer harus kembali kebarak dan
menghilangkannya dari dunia politik seharusnya diimbangi dengan perhatian
pemeritah terhadap militer untuk menjaga agar kebutuhan mereka tetap terjaga.
Militer merupakan lembaga pertama yang menikmati perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, terutama segala hal yang berkaitan dengan persenjataan. Dari
asumsi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa militer di Indonesia kurang mendapat
perhatian dari pemerintah dan inilah salah satu penyebab mengapa militer harus
terjun keranag-ranah yang lain. Penyebab yang lain adalah kurangnya fasilitas
militer di Indonesia, sehingga militer harus mencari priofesi yang lain untuk terus
beraktifitas. Jika militer tidak memiliki kebutuhannya sebagai militer, sudah
barang tentu akan cenderung mencari kesibukan yang lain. Dan penyebab yang
lainya yaitu pendanaan terhadap militer yang kurang yang oleh karena krisis
ekonomi yang terjadi menjadikan bangsa ini mengalami kesulitan dalam hal
pendanaan perlengkapan militer. Jika berusaha bijak maka masalah militer di
Indonesia bukanlah masalah militer seorang, tapi merupakan masalah bersama
termasuk masyarakat sipil seharusnya bertanggung jawab untuk mencari solusi
terbaik dalam menanganinya. Sebagai kesimpulan, saya mengajak kepada seluruh
pembaca untuk menanggapi masalah yang hadir secara arif agar dapat menjadi
fungsi kontrol atas kewenangan yang telah dititipkan kepada militer, menginggat
besarnya potensi militer untuk melakukan sesuatu yang dapat mengganggu jalannya
demokrasi.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Bangsa kita, khususnya para politisi
atau negarawan hendaknya memiliki kearifan dalam melihat dan mensikapi sejarah masa lalu
bangsanya, khususnya sejarah (perjuangan) TNI. Hal ini sangat penting
agar dalam menentukan kebijakan politik dapat didasarkan pada fakta yang ada di
lapangan yang kemampuannya dimiliki oleh para komandan militer, sehingga dapat
sinergi antara keputusan politik dengan kondisi yang dimiliki oleh militer dan
tidak menimbulkan kesenjangan antara sipil-militer.
Pada ephoria demokrasi seperti
sekarang ini ada sebagian politisi (negarawan) yang berusaha untuk
menarik-narik TNI masuk ke dalam percaturan politik. Wacana yang berkembang
adalah agar anggota TNI diberi hak memilih. Mereka, para elit politik (mungkin)
hanya melihat sesaat untung dan ruginya dalam peta politik sehingga mereka lupa
tentang arti dan makna esprit de corp dan garis komando yang kuat serta memiliki
alat kekuatan (senjata) sehingga akan membawa dampak negatif dan membahayakan
apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikarenakan terjadinya perbedaan
politik antar prajurit atau satuan sehingga hal ini akan merusak jati diri TNI,
soliditas dan sendi-sendi netralitas TNI.
Pada saat ini belum saatnya tetapi
untuk beberapa dekade yang akan datang (mungkin) para prajurit
dapat diberi hak suara karena (mungkin) sudah adanya kemapanan
mental dan kedewasaan dalam berpolitik. Kemungkinan-kemungkinan tersebut
hendaklah benar-benar dikaji secara teliti dan kemudian diputuskan secara arif,
bukan karena ambisi untuk memperbanyak perolehan suara semata. Untuk itu
diperlukan kearifan dalam membuat perundang-undangan yang baik, yang mengatur
peran dan fungsi TNI tanpa ada tendensi apapun, selain demi terciptanya postur
dan profesionalismenya. Oleh karena itu dalam penentuan kebijakan dan strategi
nasional yang mempertaruhkan kelangsungan hidup bangsa dan negara seyogyanya
militer-sipil (politisi/negarawan dengan pucuk pimpinan militer) dapat duduk
bersama dan setara agar tercipta sinergi dan soliditas demi terbentuknya
angkatan bersenjata yang kuat, tangguh dan profesional serta demi keutuhan dan
kejayaan NKRI.
Para politisi atau negarawan (sipil)
hendaknya dapat memahami dengan arif dan sungguh-sungguh peran dan fungsinya
masing-masing, terlebih dalam melihat institusi militer karena dasar suatu
negara adalah organisasi militer (yang baik). Hal itu sebagaimana diungkapkan
oleh Niccolo Machiavelli (1469-1527 M) bahwa, “Tidak mungkin ada
perundang-undangan yang baik apabila tidak ada angkatan bersenjata yang baik.
Dimana terdapat angkatan bersenjata yang baik sangat diperlukan
perundang-undangan yang baik. Dasar suatu negara adalah organisasi militer yang
baik dan seorang negarawan harus belajar ilmu kemiliteran”.
Daftar Pustaka
Huntington, Samuel P. The Third
Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (Norman: University of
Oklahoma Press, 1993).
__________________. The Soldier
and The State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations
(Cambridge: Cambridge University Press, 1957).
__________________. “Mereformasi
Hubungan Sipil-Militer” dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner. Hubungan
Sipil-Militer dan Demokrasi penterjemah Tri Wibowo Budi Santoso (Jakarta:
RajaGrafindo, 2000).
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia
Modern penterjemah Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1991).
Artikel dalam majalah NEWSLETTER
edisi Edisi V/Oktober/2010 berjudul 12
Tahun Reformasi TNI
Langganan:
Postingan (Atom)