Senin, 16 September 2013

SEKELUMIT KISAH PERJALANAN KETATANEGARAAN INDONESIA DARI MASA UUD 1945 (1959 – 1966 / Demokrasi Terpimpin) HINGGA ORDE BARU

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latara Belakang Masalah

Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dalam umur yang masih muda sebagai sebuah negara banyak gejolak yang muncul baik dalam segi perpolitikan, peperangan maupun dalam ketatanegaraan. Pada tahun 1950 Indonesia merubah bentuk Kesatuan menjadi Serikat dalam sebuah perjanjian yakni KMB untuk mendapatkan Irian Barat yang tidak kunjung dilepas oleh Belanda, Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950 kembalinya Indonesia menjadi sebuah negara Kesatuan membutuhkan perubahan dalam dasar-dasar negara sebagai negara kesatuan. Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer di Indonesia. Kemudian muncullah pergantian Perdana Menteri selama 7 kali dan hal tersebut sangat mempengaruhi perpolitikan di Indonesia.
Pada 19 April 1957 dibentuk sebuah kabinet Karya Darurat Extra Parlementer dimana menteri yang menjabat tidak berdasarkan partai melainkan dengan keahlian dan kecakapannya, kabinet ini dinyatakan darurat untuk bertanggungjawab penuh atas pimpinan pemerintah negara karena sejak 14 Maret 1957 Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang. Pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia mengeluarkan sebuah dekrit untuk kembali pada UUD 1945 karena Konstituante mengalami kegagalan dalam penyusunan UUD yang sah (resmi) dan banyak anggota yang menyatakan mengundurkan diri.
Dalam atmosfir politik Indonesia pada waktu itu yang begitu panas, konstituante diberikan tugas untuk membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yg akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi kembali berlakunya UUD 1945.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa latar belakang dikeluarkannya Dekrit Presiden tahun 1959 ?
2.      Bagaimana perkembangan Ketatanegaraan serta pelaksanaan pemerintahan pada Masa Orde Baru ?















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia pada Masa UUD 1945 ( 1959-1966 ) Sampai Akhir Orde Baru
1.      Demokrasi Terpimpin
Pada masa pemerintahan tahun 1959 konstituante belum dapat membuat undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar tersebut berdampak pada timbulnya situasi politik yang kacau dan semakin buruk. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme. Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional. Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya. Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Oleh karena itu, demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Konsep Demokrasi Terpimpin dalam pandangan Soekarno bercirikan demokrasi yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan perwakilan, meskipun berbeda dengan demokrasi perwakilan, namun demokrasi terpimpin bukan bentuk kediktatoran atau sentralisme, kepemimpinan akan didasarkan pada musyawarah, demokrasi terpimpin merupakan cara bukan tujuan, dan demokrasi terpimpin dimaksudkan sebagai demokrasi gotong royong.
Dari ciri-ciri tersebut dengan sendirinya system Demokrasi Terpimpin akan mengarah pada perombakan politik paratai dan menghapus sistem multi partai,  menyediakan tempat untuk perwakilan golongan fungsional.
Namun pelaksanaannya terjadinya pemusatan kekuasaan di tangan Presiden menimbulkan penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Isi dari Dekrit tersebut diantaranya :
1)      Pembubaran konstituante
2)      Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945
3)      Pembentukan MPRS dan DPAS
Dari dikeluarkan Dekrit tersebut oleh presiden Soekarno berdampak positif pada penyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan, memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara, merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa timbul pula dampak negatif dari Dekrit itu, Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka. Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru. Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
 Dari masa Demokrasi Terpimpin sampai akhir Orde Baru sendiri telah melahirkan beberapa kabinet dalam perjalanan pemerintahan. Diantaranya ialah :
I.       Kabinet-kabinet Sesudah Dekrit Presiden tahun 1959-1966 (Demokrasi Terpimpin)
a.      Kabinet Kerja I
 Kabinet Kerja I bertugas pada periode 10 Juli 1959 - 18 Februari 1960
b.      Kabinet Kerja II
Kabinet Kerja II bertugas pada periode 18 Februari 1960 - 6 Maret 1962.t
c.       Kabinet Kerja III
Kabinet Kerja III bertugas pada periode 6 Maret 1962 - 13 November 1963.
d.      Kabinet Kerja IV
Kabinet Kerja IV bertugas pada periode 13 November 1963 - 27 Agustus 1964
e.       Dwikora I
Kabinet Dwikora I adalah nama kabinet pemerintahan di Indonesia dengan masa kerja dari 27 Agustus 1964-22 Februari 1966[1]. Presiden pada kabinet ini adalah Soekarno.
f.       Dwikora II
Presiden Sukarno melantik Kabinet Dwikora pada tanggal 24 Februari 1966 Kabinet Dwikora II atau Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan adalah nama kabinet pemerintahan di Indonesia dengan masa kerja dari 24 Februari 1966 sampai 28 Maret 1966.[1] Presiden pada kabinet ini adalah Soekarno.
g.      Dwikora III
Kabinet Dwikora III atau Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan Lagi adalah nama kabinet pemerintahan di Indonesia dengan masa kerja dari 27 Maret 1966 sampai 25 Juli 1966.[1] Presiden pada kabinet ini adalah Soekarno.
h.      Ampera I
Ketua Presidium Kabinet, Letjen Soeharto sedang mengumumkan Kabinet Ampera I. Kabinet Ampera I adalah Kabinet yang dibentuk dan bertugas mulai tanggal 25 Juli 1966 - 17 Oktober 1967. Kabinet ini diumumkan langsung oleh Letjen Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet atas persetujuan Presiden Soekarno.

i.        Ampera II
Kabinet Ampera II adalah Kabinet yang dibentuk dan bertugas mulai tanggal 17 Oktober 1967 - 6 Juni 1968. Kabinet ini diumumkan langsung oleh Letjen Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI.
II.    Kabinet Pada Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Adapun kabinet-kabinet pada masa Orde Baru diantaranya :

a.      Kabinet Pembangunan I
Kabinet Pembangunan I adalah nama kabinet pemerintahan di Indonesia pada tahun 1968-1973. Presiden pada Kabinet ini adalah Soeharto. Kabinet Pembangunan I terbentuk tanggal 6 Juni 1968 dan dilantik pada tanggal 10 Juni 1968. Komposisi kabinet ini tidak jauh berbeda dengan komposisi menteri dalam Kabinet Ampera yang disempurnakan
b.      Kabinet Pembangunan II
Kabinet Pembangunan II adalah nama kabinet pemerintahan di Indonesia pada tahun 1973-1978. Presiden pada Kabinet ini adalah Soeharto sedangkan wakil presiden adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX
c.       Kabinet Pembangunan III
Kabinet Pembangunan III (1978-1983) adalah kabinet yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Wakil Presiden H. Adam Malik
d.      Kabinet Pembangunan IV
Kabinet Pembangunan IV (19 Maret 1983-22 Maret 1988) adalah kabinet yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah
e.       Kabinet Pembangunan V
Kabinet Pembangunan V adalah kabinet pemerintahan Presiden Indonesia, Soeharto pada tahun 1988-1993.
f.       Kabinet Pembangunan VI
Kabinet Pembangunan VI adalah kabinet yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Try Soetrisno dengan masa bakti (1993-1998).
Pada masa ini, terjadi perubahan kebiasaan penyusunan kabinet yang dilakukan oleh Presiden Soeharto, yang umumnya tidak memeberhentikan menterinya sampai masanya berakhir kecuali karena meninggal dunia. Namun pada kali ini,(1996) Presiden Soeharto melakukan perombakan menteri dan susunan departemennya. Perubahan ini terjadi pada Departemen Perdagangan (Depdag) dan Departemen Perindustrian yang dijadikan satu menjadi Departeman Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) dengan T. Ariwibowo sebagai Menteri sehingga Satrio Budihardjo Judono resmi berhenti dari jabatannya. Alasan resmi penggabungan ini dikemukakan oleh Menteri Sekertaris Negara Moerdiono, penggabungan dua departemen dilakukan karena sejak terbentuknya Kabinet Pembangunan VI, Maret 1993, telah banyak perubahan cukup penting, baik di dalam maupun di luar negeri. Perkembangan itu, antara lain, bergulirnya APEC dan AFTA, yang menuntut tiap negara makin siap menyongsong pasar bebas. Maka, dinilai perlu lebih meningkatkan koordinasi dan penyederhanaan kegiatan di kabinet. Penggabungan Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian ini tampaknya meniru pola yang sudah dilakukan Singapura, Malaysia, Jepang (Keidanren), dan Jerman.
Perubahan ini juga terjadi pada Menteri Urusan Pangan dan Kepala Badan Usaha Logistik (Bulog), dimana jabatan Kepala Badan Usaha Logistik yang semula dirangkap Menteri Urusan Pangan Ibrahim Hasan, diserahkan kepada Beddu Amang.
Karena terjadi penyatuan Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian menjadi Departemen Peridustrian dan Perdagangan maka jabatan Menteri Koordinator Industri dan Perdagangan, yang dipegang Hartarto, diubah menjadi Menteri Koordinator Bidang Produksi dan Distribusi. Bidang yang ditanganinya hampir tidak berbeda, antara lain meliputi Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Tenaga Kerja, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Ketika terjadi Krisis ekonomi, pada tahun 1997, jabatan Gubernur Bank Sentral diganti dari Soedrajad Djiwandono kepada Syahril Sabirin. Selanjutnya Jabatan Panglima ABRI diganti dari Jendral Edi Sudrajat diserahkan kepada Jendral Feisal Tanjung

g.      Kabinet Pembangunan  VII
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya di televisi.
Kabinet Pembangunan VII adalah kabinet pemerintahan Indonesia yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie yang masa jabatannya paling singkat (Januari 1998-21 Mei 1998). Masa bakti kabinet ini seharusnya berakhir pada tahun 2003, namun karena terjadi demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan massal 1998 akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang berujung pada pengunduran diri Soeharto dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998 dan diangkatnya B.J. Habibie sebagai pejabat presiden dalam situasi darurat, mengakibatkan kabinet ini menjadi demisioner. Sebagai penggantinya, pemerintahan Indonesia dilanjutkan oleh Kabinet Reformasi Pembangunan

B.     Perbandingan Kondisi Kedaulatan Rakyat Pada Masa Orde Lama Dengan Orde Baru
1.      Orde Lama (masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1966)
Pada periode ini sering juga disebut dengan Orde Lama. Undang-undang yang digunakan adalah UUD 1945 dengan sistem demokrasi terpimpin. Pengertian Demokrasi Terpimpin pada sila keempat pancasila adalah dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, akan tetapi presiden menafsirkan “terpimpin”, yaitu pimpinan terletak di tangan Pemipin Besar Revolusi.

2.      Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada masa Orde Baru, DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.




















BAB III
PENUTUP
SIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat ditarik beberapa simpulan mengenai Dekrit Presiden 1959. Pertama, kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar tersebut berdampak pada timbulnya situasi politik yang kacau dan semakin buruk. Kedua, terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme. Ketiga, konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional. Keempat, banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya. Kelima, masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Oleh karena itu, demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sedangkan pada masa Orde Baru, sistem ketatanegaraan Indonesia terjadi perubahan yang cukup drastis. Pada masa Orde Baru, DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Terjadi model kepemimpinan yang otoriter yang anti kritik.






Daftar Pustaka
      Soegito, A.T. 2011. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia. Semarang : UPT UNNES
Press
                  Atmaja, Hamdan Tri. 2009. Sejarah Kontemporer Indonesia. Semarang

                  Joeniarto. 2011. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar