BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latara
Belakang Masalah
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945,
dalam umur yang masih muda sebagai sebuah negara banyak gejolak yang muncul
baik dalam segi perpolitikan, peperangan maupun dalam ketatanegaraan. Pada
tahun 1950 Indonesia merubah bentuk Kesatuan menjadi Serikat dalam sebuah
perjanjian yakni KMB untuk mendapatkan Irian Barat yang tidak kunjung dilepas
oleh Belanda, Sebelum Republik
Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran
menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga
negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara
Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal
17 Agustus 1950 kembalinya Indonesia
menjadi sebuah negara Kesatuan membutuhkan perubahan dalam dasar-dasar negara
sebagai negara kesatuan. Sejak
17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet
parlementer di Indonesia. Kemudian muncullah pergantian Perdana Menteri selama
7 kali dan hal tersebut sangat mempengaruhi perpolitikan di Indonesia.
Pada 19 April 1957 dibentuk sebuah kabinet Karya
Darurat Extra Parlementer dimana menteri yang menjabat tidak berdasarkan partai
melainkan dengan keahlian dan kecakapannya, kabinet ini dinyatakan darurat
untuk bertanggungjawab penuh atas pimpinan pemerintah negara karena sejak 14
Maret 1957 Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang. Pada 5 Juli 1959
Presiden Indonesia mengeluarkan sebuah dekrit untuk kembali pada UUD 1945
karena Konstituante mengalami kegagalan dalam penyusunan UUD yang sah (resmi)
dan banyak anggota yang menyatakan mengundurkan diri.
Dalam atmosfir politik Indonesia pada waktu itu yang
begitu panas, konstituante
diberikan tugas untuk membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS
1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi
baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin
pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. UUDS 1950
ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan
Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal
14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya
bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yg
akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih
Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi
baru sampai berlarut-larut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno membubarkan
Konstituante dengan mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi kembali berlakunya UUD 1945.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
latar belakang dikeluarkannya Dekrit Presiden tahun 1959 ?
2. Bagaimana
perkembangan Ketatanegaraan serta pelaksanaan pemerintahan pada Masa Orde Baru
?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Ketatanegaraan Indonesia pada Masa UUD 1945 ( 1959-1966 ) Sampai Akhir Orde
Baru
1.
Demokrasi
Terpimpin
Pada masa pemerintahan tahun 1959 konstituante belum
dapat membuat undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara
belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950)
dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan
kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang
dasar tersebut berdampak pada timbulnya situasi politik yang kacau dan semakin
buruk. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah
gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme. Konflik antar partai politik
yang mengganggu stabilitas nasional. Banyaknya partai dalam parlemen yang
saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya. Masing-masing
partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan
partainya tercapai. Oleh karena itu, demi menyelamatkan negara maka presiden
melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit
yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Konsep Demokrasi Terpimpin dalam pandangan Soekarno
bercirikan demokrasi yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan
perwakilan, meskipun berbeda dengan demokrasi perwakilan, namun demokrasi
terpimpin bukan bentuk kediktatoran atau sentralisme, kepemimpinan akan
didasarkan pada musyawarah, demokrasi terpimpin merupakan cara bukan tujuan,
dan demokrasi terpimpin dimaksudkan sebagai demokrasi gotong royong.
Dari ciri-ciri tersebut dengan sendirinya system
Demokrasi Terpimpin akan mengarah pada perombakan politik paratai dan menghapus
sistem multi partai, menyediakan tempat
untuk perwakilan golongan fungsional.
Namun
pelaksanaannya terjadinya pemusatan
kekuasaan di tangan Presiden menimbulkan penyimpangan dan penyelewengan terhadap
Pancasila dan UUD 1945.
Isi
dari Dekrit tersebut diantaranya :
1)
Pembubaran konstituante
2)
Tidak berlakunya UUDS 1950 dan
berlakunya kembali UUD 1945
3)
Pembentukan MPRS dan DPAS
Dari dikeluarkan Dekrit
tersebut oleh presiden Soekarno berdampak positif pada penyelamatkan negara
dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan, memberikan pedoman yang
jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara, merintis pembentukan lembaga
tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama
masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Namun tidak dapat dipungkiri
bahwa timbul pula dampak negatif dari Dekrit itu, Ternyata UUD 1945 tidak
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar
hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi
slogan-slogan kosong belaka. Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden,
MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin
dan berlanjut sampai Orde Baru. Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam
bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan
politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap
terasa sampai sekarang.
Dari
masa Demokrasi Terpimpin sampai akhir Orde Baru sendiri telah melahirkan
beberapa kabinet dalam perjalanan pemerintahan. Diantaranya ialah :
I.
Kabinet-kabinet
Sesudah Dekrit Presiden tahun 1959-1966 (Demokrasi Terpimpin)
a.
Kabinet
Kerja I
b.
Kabinet
Kerja II
c.
Kabinet
Kerja III
d.
Kabinet
Kerja IV
e.
Dwikora
I
Kabinet Dwikora I adalah nama kabinet
pemerintahan di Indonesia dengan masa kerja dari 27 Agustus 1964-22
Februari 1966[1]. Presiden pada kabinet ini adalah Soekarno.
f.
Dwikora
II
Presiden Sukarno melantik Kabinet Dwikora pada tanggal 24
Februari 1966
Kabinet Dwikora II atau Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan
adalah nama kabinet
pemerintahan di Indonesia
dengan masa kerja dari 24
Februari 1966
sampai 28 Maret
1966.[1]
Presiden pada kabinet ini adalah Soekarno.
g.
Dwikora
III
Kabinet Dwikora III atau Kabinet Dwikora Yang
Disempurnakan Lagi adalah nama kabinet pemerintahan di Indonesia dengan masa kerja dari 27 Maret 1966 sampai 25
Juli 1966.[1] Presiden pada kabinet ini adalah Soekarno.
h.
Ampera
I
Ketua Presidium Kabinet, Letjen Soeharto sedang mengumumkan Kabinet Ampera I. Kabinet Ampera I adalah Kabinet yang
dibentuk dan bertugas mulai tanggal 25 Juli
1966
- 17 Oktober
1967.
Kabinet ini diumumkan langsung oleh Letjen Soeharto
sebagai Ketua Presidium Kabinet atas persetujuan Presiden Soekarno.
i.
Ampera
II
Kabinet Ampera II adalah Kabinet yang dibentuk dan bertugas mulai tanggal 17 Oktober 1967 - 6 Juni 1968. Kabinet ini diumumkan langsung oleh Letjen Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI.
II.
Kabinet
Pada Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden
Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa
jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara
berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Adapun kabinet-kabinet pada masa Orde Baru diantaranya :
a.
Kabinet
Pembangunan I
Kabinet Pembangunan I adalah nama kabinet pemerintahan
di Indonesia pada tahun 1968-1973. Presiden pada Kabinet ini adalah Soeharto. Kabinet Pembangunan I terbentuk tanggal 6 Juni 1968 dan dilantik pada tanggal 10 Juni 1968. Komposisi kabinet
ini tidak jauh berbeda dengan komposisi menteri dalam Kabinet Ampera
yang disempurnakan
b.
Kabinet
Pembangunan II
Kabinet Pembangunan II adalah nama kabinet
pemerintahan di Indonesia pada tahun 1973-1978. Presiden pada Kabinet ini adalah Soeharto sedangkan wakil presiden adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX
c.
Kabinet
Pembangunan III
Kabinet Pembangunan III (1978-1983) adalah kabinet yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Wakil Presiden H. Adam
Malik
d.
Kabinet
Pembangunan IV
Kabinet Pembangunan IV (19
Maret 1983-22
Maret 1988) adalah kabinet yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah
e.
Kabinet
Pembangunan V
Kabinet Pembangunan V adalah kabinet pemerintahan Presiden Indonesia, Soeharto pada tahun 1988-1993.
f.
Kabinet
Pembangunan VI
Kabinet Pembangunan VI adalah kabinet
yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto
dan Wakil Presiden Try Soetrisno
dengan masa bakti (1993-1998).
Pada
masa ini, terjadi perubahan kebiasaan penyusunan kabinet yang dilakukan oleh
Presiden Soeharto, yang umumnya tidak memeberhentikan menterinya sampai masanya
berakhir kecuali karena meninggal dunia. Namun pada kali ini,(1996) Presiden Soeharto
melakukan perombakan menteri dan susunan departemennya. Perubahan ini terjadi
pada Departemen Perdagangan
(Depdag) dan Departemen Perindustrian
yang dijadikan satu menjadi Departeman
Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) dengan T. Ariwibowo sebagai
Menteri sehingga Satrio Budihardjo Judono resmi berhenti dari jabatannya.
Alasan resmi penggabungan ini dikemukakan oleh Menteri Sekertaris Negara
Moerdiono, penggabungan dua departemen dilakukan karena sejak terbentuknya
Kabinet Pembangunan VI, Maret
1993,
telah banyak perubahan cukup penting, baik di dalam maupun di luar negeri.
Perkembangan itu, antara lain, bergulirnya APEC
dan AFTA,
yang menuntut tiap negara makin siap menyongsong pasar bebas. Maka, dinilai
perlu lebih meningkatkan koordinasi dan penyederhanaan kegiatan di kabinet.
Penggabungan Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian ini tampaknya
meniru pola yang sudah dilakukan Singapura,
Malaysia,
Jepang
(Keidanren), dan Jerman.
Perubahan
ini juga terjadi pada Menteri Urusan
Pangan dan Kepala Badan Usaha Logistik (Bulog), dimana jabatan Kepala
Badan Usaha Logistik yang semula dirangkap Menteri Urusan Pangan Ibrahim Hasan,
diserahkan kepada Beddu Amang.
Karena terjadi penyatuan Departemen Perdagangan dan Departemen
Perindustrian menjadi Departemen Peridustrian dan Perdagangan maka jabatan Menteri Koordinator Industri dan Perdagangan,
yang dipegang Hartarto, diubah menjadi Menteri
Koordinator Bidang Produksi dan Distribusi. Bidang yang ditanganinya
hampir tidak berbeda, antara lain meliputi Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Tenaga Kerja, dan Badan
Koordinasi Penanaman Modal.
Ketika
terjadi Krisis ekonomi, pada tahun 1997, jabatan Gubernur Bank Sentral diganti
dari Soedrajad Djiwandono kepada Syahril Sabirin.
Selanjutnya Jabatan Panglima ABRI diganti dari
Jendral Edi
Sudrajat diserahkan kepada Jendral Feisal Tanjung
g.
Kabinet
Pembangunan VII
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa
demonstrasi, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya di televisi.
Kabinet Pembangunan VII adalah kabinet pemerintahan Indonesia yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie
yang masa jabatannya paling singkat (Januari 1998-21 Mei 1998). Masa bakti kabinet ini seharusnya berakhir pada tahun 2003, namun karena terjadi demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan massal 1998
akibat krisis ekonomi yang
melanda Indonesia yang berujung pada pengunduran diri Soeharto dari jabatannya pada
tanggal 21 Mei 1998 dan diangkatnya B.J. Habibie sebagai pejabat presiden dalam
situasi darurat, mengakibatkan kabinet ini menjadi demisioner. Sebagai
penggantinya, pemerintahan Indonesia dilanjutkan oleh Kabinet Reformasi Pembangunan
B.
Perbandingan
Kondisi Kedaulatan Rakyat Pada Masa Orde Lama Dengan Orde Baru
1.
Orde
Lama (masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1966)
Pada periode ini sering juga disebut dengan Orde Lama. Undang-undang
yang digunakan adalah UUD 1945 dengan sistem demokrasi terpimpin. Pengertian
Demokrasi Terpimpin pada sila keempat pancasila adalah dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, akan tetapi presiden
menafsirkan “terpimpin”, yaitu pimpinan terletak di
tangan Pemipin Besar Revolusi.
2.
Orde
Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden
Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam
jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini
dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu,
kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada masa Orde Baru, DPR dan MPR tidak berfungsi secara
efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya
mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering
kurang didengar oleh pusat.
Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga
negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang
secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
BAB
III
PENUTUP
SIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik beberapa
simpulan mengenai Dekrit Presiden 1959. Pertama,
kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar tersebut
berdampak pada timbulnya situasi politik yang kacau dan semakin buruk. Kedua, terjadinya sejumlah pemberontakan
di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan
sparatisme. Ketiga, konflik antar
partai politik yang mengganggu stabilitas nasional. Keempat, banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda
pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya. Kelima, masing-masing partai politik selalu berusaha untuk
menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Oleh karena itu, demi
menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan
Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
Sedangkan pada
masa Orde Baru, sistem ketatanegaraan Indonesia terjadi perubahan yang cukup
drastis. Pada masa Orde
Baru, DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali
dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal
ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Terjadi model kepemimpinan yang otoriter yang anti kritik.
Daftar
Pustaka
Soegito,
A.T. 2011. Sejarah Ketatanegaraan
Indonesia. Semarang : UPT UNNES
Press
Atmaja, Hamdan Tri. 2009. Sejarah Kontemporer Indonesia. Semarang
Joeniarto. 2011. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Jakarta : Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar